POPULASI,
SAMPEL, DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
A. POPULASI
Pengertian
populasi dari beberapa ahli.
1. Sekumpulan
objek, orang, atau keadaan yang menjadi perhatian peneliti dan akan digunakan
oleh peneliti untuk menggeneralisasi hasil penelitiannya (Fraenkel).
2. Sekumplan
objek, orang, atau keadaan yang paling tidak memiliki satu karakteristik umum
yang sama (Furqon).
3. Populasi
atau universe adalah jumlah keseluruhan dari satuan-satuan atau
individu-individu yang karakteristiknya hendak diteliti. Dan satuan-satuan
tersebut dinamakan unit analisis, dan dapat berupa orang-orang,
institusi-institusi, benda-benda, dst. (Djawranto, 1994 : 420).
Kata populasi (population/universe) dalam statistika merujuk
pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian dalam
suatu penelitian (pengamatan). Sugiyono menyatakan (2010: 117) “Populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya”. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa populasi bukan hanya
orang, namun juga bisa terdiri dari objek dan benda-benda alam lainnya.
Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada subjek/ objek yang dipelajari,
tetapi meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang melekat pada diri subjek/
objek tersebut.
Misalnya
seorang peneliti ingin melakukan penelitian di suatu sekolah X, maka sekolah X
inilah yang merupakan populasi penelitian. Sekolah X mempunyai sejumlah orang/
subjek dan objek yang lain. Hal ini berarti populasi dalam arti jumlah atau
kuantitas. Tetapi sekolah X tersebut juga mempunyai karakteristik
orang-orangnya, misalnya motivasi belajarnya, kedisiplinan, kepemimpinan, iklim
pembelajaran, dan lain-lain; dan juga memiliki karakteristik objekyang lain,
misalnya tata tertib sekolah, kebijakan sekolah, tata ruang kelas, lulusan yang
dihasilkan dan lain-lain. Yang terakhir ini berarti populasi dalam
artikarakteristik.
Satu
orang pun sebenarnya dapat dijadikan sebagai populasi, karena satu orang itu
mempunyai berbagai karakteristik, misalnya gaya bicaranya, kedisiplinannya,
hobi, cara bergaul, kepemimpinannya, dan lain-lain. Misalnya akan
meneliti gaya kepemimpinan seorang presiden, maka kepemimpinan itu sebagai
sampel dari keseluruhan karakter yang melekat pada presiden tersebut.
Dalam
bidang kedokteran, satu orang sering bertindak sebagai populasi. Darah yang ada pada setiap orang adalah populasi,
kalau akan diteliti, Dokter tidak perlu mengambil seluruh darah yang ada pada
pasien tersebut, namun cukup mengambil beberapa cc saja. Karena beberapa cc itu
sudah dianggap mewakili seluruh darah yang ada.
B. SAMPEL
Sugiyono (2010: 118) mengatakan bahwa “Sampel adalah bagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Jika populasi yang
diteliti sangat besar dan tidak mungkin semua individu/ objek pada populasi
tersebut diteliti satu persatu, maka cukup diambil sampel dari populasi
tersebut. Misalnya, seorang peneliti hendak meneliti tingkat kecerdasan manusia
Indonesia. Dengan jumlah populasi yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa,
tentunya tidak mungkin untuk melakukan penelitian terhadap setiap individu.
Sehingga peneliti cukup mengambil sampel saja.
Banyaknya pengamatan atau anggota suatu populasi disebut
ukuran populasi. Ukuran populasi ada dua: (1) populasi terhingga (finite
population), yaitu ukuran populasi yang berapa pun besarnya tetapi masih bisa
dihitung (cauntable). Misalnya populasi pegawai suatu perusahaan; (2) populasi
tak terhingga (infinite population), yaitu ukuran populasi yang sudah
sedemikian besarnya sehingga sudah tidak bisa dihitung (uncountable). Misalnya
populasi tanaman anggrek di dunia.
1.
Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili
sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya
sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau
yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel
adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak
mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid
ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama :
Akurasi
atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample.
Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin
akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah
populasi.
Cooper
dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang
maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh
yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah
pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas
tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di
setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan
semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh
systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian
adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah
majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper &
Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932
majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon
presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan
dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan
jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D.
Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata
Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah
diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan dalam
menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah
mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar
tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal
Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari
kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan
prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya
jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel
harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua :
Presisi.
Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi.
Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan
karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50
orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50
potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan
produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang
dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari
sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara
rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi
sampel tersebut.
Belum
pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh
karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat
keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur
oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan
baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s),
makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi
mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena
kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger,
1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara
populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya
ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Penentuan
sampel pada dasarnya harus representatif,
artinya sampel harus benar-benar mampu mewakili populasi yang ada. Hal ini
disebabkan karena kesimpulan penelitian yang dilakukan pada sampel pada
akhirnya akan digeneralisasikan kepada populasi. Dengan kata lain apa yang
terjadi pada populasi juga harus berlaku pada populasinya. Misalnya, penelitian
untuk mengetahui tingkat kecerdasan anak-anak Indonesia. Selanjutnya seorang
peneliti mengambil sampel anak-anak di pulau Jawa saja. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa seluruh anak-anak di Pulau Jawa cerdas-cerdas. Kemudian ia
menyimpulkan bahwa seluruh anak di Indonesia cerdas-cerdas. Generalisasi
seperti ini bisa jadi tidak tepat. Mengapa? Karena peneliti hanya mengambil
sampel dari 1 pulau saja. Padahal belum tentu pulau Jawa itu mewakili seluruh
karakter anak di seluruh Indonesia. Jika peneliti ingin lebih teliti, maka
seharusnya ia mengambil sampel dari beberapa pulau di Indonesia, barulah sampel
tersebut bisa merepresentasikan wilayah di seluruh Indonesia.
Syarat
representasi ini harus dipenuhi oleh sampel sebagai alat untuk
menggeneralisasikan kesimpulan pada populasi. Oleh karena itu, tentu saja
pemilihan dan penentuan sampel harus benar-benar dipikirkan dan tidak boleh
sembarangan. Sehingga diperlukan cara pengambilan dan penentuan sampel yang
tepat. Cara inilah yang disebut teknik sampling.
2.
Prosedur Pemilihan sampel
Agar diperoleh sampel yang representatif peneliti perlu
menggunakan prosedur pemilihan sampel yang sistematis. Tahapannya adalah
sebagai berikut :
1) mengidentifikasi
populasi target
2)
memilih kerangka pemilihan sampel
3)
menentukan metode pemilihan sampel
4)
merencanakan prosedur penentuan unit sampel
5)
menentukan ukuran sampel
6)
menentukan unit sampel
C.
Teknik Pengambilan sampel
Earl Babbie (1986) dikutip Prijana (2005) dalam bukunya The
Practice of Social Research, mengatakan “Sampling is the process of selecting
observations” (Sampling adalah proses seleksi dalam kegiatan observasi). Proses
seleksi yang dimaksud di sini adalah proses untuk mendapatkan sampel.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disampaikan dua hal
yaitu:
1. bahwa sampling adalah proses untuk mendapatkan
sampel dari suatu populasi. Di sini sampel harus benar-benar mencerminkan
populasi, artinya kesimpulan yang diangkat dari sampel merupakan kesimpulan
atas populasi.
2. masalah
yang dihadapi adalah tentang bagaimana proses pengambilan sampel, dan berapa
banyak unit analisis yang akan diambil.
1.
Pengertian Teknik Sampling Menurut Ahli
a.
Pengertian teknik sampling menurut
Sugiyono (2001) adalah: Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan
sampel (Sugiyono, 2001: 56).
b.
Pengertian teknik sampling menurut
Margono (2004) adalah: Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data
sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang representatif.
Teknik sampling
adalah teknik yang dilakukan untuk menentukan sampel. Jadi, sebuah penelitian
yang baik haruslah memperhatikan dan menggunakan sebuah teknik dalam menetapkan
sampel yang akan diambil sebagai subjek penelitian.
2.
Langkah Dalam Teknik Sampling
Menurut
Dalen (1981), beberapa langkah yang harus diperhatikan peneliti dalam
menentukan sampel, yaitu:
a) Menentukan populasi,
b) Mencari data akurat unit populasi,
c) Memilih sampel yang representative,
d) Menentukan jumlah sampel yang memadai.
3. Jenis-jenis teknik sampling
Untuk menentukan
sampel dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Teknik
sampling berdasarkan adanya randomisasi, yakni pengambilan subyek secara acak
dari kumpulannya, dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu sampling nonprobabilitas
dan sampling probabilitas. Teknik-teknik sampling tersebut dapat dilihat pada
skema berikut.
Teknik sampling dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: Probability Sampling dan Nonprobability Sampling.
Yang termasuk ke dalam kelompok
probability sampling antara lain: simple random sampling, proportionate
stratified random sampling, disproportionate stratified random sampling, dan
area (cluster) sampling (disebut juga dengan sampling menurut daerah).
Sedangkan yang termasuk ke dalam jenis
nonprobability sampling antara lain: sampling sistematis, sampling kuota,
sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling.
Sampling
probabilitas diartikan sebagai sampling yang memberikan kesempatan atau peluang
yang sama terhadap tiap-tiap individu pada populasi untuk terpilih menjadi
sampel penelitian. Sedangkan sampling non-probabilitas memiliki pengertian yang
sebaliknya. Pada sampling probabilitas, proses pemilihan sampel dicirikan
dengan adanya randomisasi (pengacakan). Jika ditelaah dari pengertian di atas,
maka proses random (pengacakan) memang harus ada untuk dilakukan. Jika ciri random
ini dihilangkan maka, probabilitas sampling menjadi tidak sempurna.
Apakah
kedua teknik ini (probabilitas maupun non-probabilitas) dapat digabungkan?
Menurut penulis, kedua teknik ini tidak bisa digabungkan dengan alasan kedua
teknik ini secara pengertian dan syarat terjadinya sudah berbeda. Sehingga
peneliti yang melakukan penggabungan bisa dikatakan tidak memahami kedua
pengertian teknik tersebut.
Sampling Probabilitas :
Syarat
pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling
frame”. Yang
dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap
elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa
data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga
tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”,
maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di
perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin,
alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar
ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika
populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus
mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya
adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat
secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat
tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di
samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan
penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih
menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random,
kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan
melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika
sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu
sendiri.
Sampling probabilitas meliputi:
a.
Simple Random Sampling
Dikatakan simple (sederhana)
karena pengambilan anggota sampel dari populasinya dilakukan secara acak tanpa
memperhatika strata (tingkatan) yag ada dalam populasi tersebut. Cara ini
dilakukan jika anggota populasi dianggap homogen. Mengapa harus dipersyaratkan
homogen? Karena, jika tiap individu homogen (memiliki karakter yang sama /
hampir sama) maka pengambilan sampel sudah bisa dikatakan representatif.
Misalnya, penelitian untuk mengetahui kemampuan matematika
anak kelas VIII A SMP N 1 Sembarangan. Karena tiap individu di kelas VIII A
dianggap memiliki kemampuan yang sama (homogen), maka pengambilan sampel bisa
dilakukan dengan cara sederhana saja. Yaitu, membuat gulungan kertas
kecil-kecil berisi nama-nama siswa, lalu diundi. Nama yang keluar akan menjadi
sampel penelitian.
Pengambilan darah pada seorang pasien juga merupakan simple
random sampling. Baik diambil pada lengan kanan, lengan kiri, pantat, atau
tempat lainnya, tetap saja darah itu mewakili seluaruh darah yang ada. Karena
darah tersebut bersifat homogen.
b.
Proportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini memiliki dua kata kuncinya, yaitu proporsional dan
stratified. Proporsional berarti sebanding dan stratified berarti tingkatan.
Sehingga Proportionate Stratified Random Sampling dapat dijelaskan sebagai
teknik yang digunakan jika populasi mempunyai anggota/ unsur yang tidak homogen
dan berstrata secara proporsional.
Misalnya, suatu perusahaan memiliki pegawai dengan tingkat
pendidikan dan jumlah pegawai sebagai berikut: S3 sebanyak 30 orang, S2
sebanyak 45 orang, S1 sebanyak 100 orang, SMA sebanyak 250 orang, dan SMK
sebanyak 300 orang. Pada kondisi tersebut, maka secara proporsional harus
diambil sampel pada tiap-tiap strata yang ada.
c.
Disproportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini kebalikan dari teknik sebelumnya (Proportionate
Stratified Random Sampling). Perbedaannya hanyalah pada pengambilan sampel yang
tidak proporsional saja.
Misalnya, suatu perusahaan memiliki pegawai dengan tingkat
pendidikan dan jumlah pegawai sebagai berikut: S3 sebanyak 3 orang, S2 sebanyak
4 orang, S1 sebanyak 45 orang, SMA sebanyak 250 orang, dan SMK sebanyak 300
orang. Pada kondisi tersebut, maka sampel harus diambil pada tiap-tiap strata
yang ada. Namun karena pada pegawai dengan tingkat pendidikan S3 dan S2 yang
jumlahnya terlalu kecil dibanding dengan yang berpendidikan S1, SMA, dan SMK,
maka semua pegawai dengan pendidikan S3 dan S2 semuanya diambil sebagai sampel.
d.
Cluster Sampling
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan
sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang
distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki
karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan
semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang
karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi
terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan
karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya,
beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai
terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat
menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu
atau dua departemen saja.
Prosedur :
a. Susun
sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100
departemen.
b.
Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai
sampel
c.
Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
d.
Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
Teknik
ini dapat juga dilakukan jika tidak memungkinkan untuk meneliti objek yang
berada dalam kelompok-kelompok tertentu dan secara teknis tidak bisa dipisahkan
karena berbagai pertimbangan yang ada.
Misalnya,
penelitian untuk membandingkan seberapa jauh efektivitas penerapan pendekatan
RME dan ekspositori terhadap prestasi belajar matematika siswa di SMP N Tidak
Jelas Namanya. Dalam penelitian ini, peneliti tentu membutuhkan 2 kelompok yang
masing-masing diajar dengan RME dan ekspositori. Dari 5 kelas yang ada di SMP
tersebut, secara acak terpilih kelas VIIA yang diajar RME (Kelas Eksperimen)
dan kleas VIIC yang diajar ekspositori (Kelas Kontrol). Pengambilan dengan cara
demikian dapat disebut sebagai cluster random sampling.
Peneliti
sebenarnya bisa melakukan pengambilan sampel dengan cara berikut ini. Misalnya
tiap kelas terdiri dari 30 siswa, sehingga keseluruhan ada 30 × 5 =
150 siswa. Secara acak dipilih 40 siswa yang diajar RME dan 40 siswa yang
diajar ekspositori. Tentu dari masing-masing 40 siswa yang diajar RME dan
ekspositori tersebut terdiri dari siswa yang berasal dari seluruh kelas yang
ada ( A, B, C, D, dan E). Secara aturan tata tertib pembelajaran sekolah, hal
ini tidak bisa atau sulit dilakukan.
Sampling Non-probabilits
Sampling non-probabilitas meliputi:
a.
Sampling sistematis
Sampling sistematis adalah teknik pengambilan sampel
berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut. Misalnya
anggota populasi yang terdiri dari 100 orang. Dari semua anggota itu diberi
nomor urut, yatu nomor 1 sampai 100. Selanjutya sampel dapat ditentukan dengan
nomor genap saja, kelipatan 3 saja, atau yang lainya.
b.
Sampling kuota
Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari
populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang
diinginkan. Sebagai contoh, akan dilakukan penelitian terhadap 100 siswa yang
berasal dari keluarga dengan pendapatan antara Rp 500.000,00 sampai Rp
1.000.000,00/bulan. Maka peneliti harus dapat memenuhi jumlah 100 orang
tersebut dengan kondisi/ ciri yang telah ditentukan.
c.
Sampling incidental
Sampling insidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/ insidental bertemu dengan
peneliti dapat digunakan sebagai sampel.
d.
Purposive sampling
Sampling purposif adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Misalnya ingin melihat kualitas pembelajaran di sekolah
RSBI, maka dicari sampel seorang guru atau kepala sekolah yang mengajar di
sekolah RSBI. Sampel ini sangat cocok digunakan untuk penelitian kualitatif
atau penelitian yang tidak melakukan generalisasi.
e.
Sampling jenuh
Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua
anggota populasi digunakan sebagai sampel penelitian. Hal ini sering dilakukan
bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang
ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain
dari sampling jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan
sampel.
f.
Snowball sampling
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang
mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang
menggelinding lama-lama.
D. UKURAN
SAMPEL
Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi
persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah
penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang
menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena
yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika
kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan,
ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1)
derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang
tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau
karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil.
Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus
banyak.
Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap
kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap
dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus
terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin
sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula
sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian
haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).
Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada
400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel
agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada
yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 %
sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling
sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif,
sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen
populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk
penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe
(1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah
sampel sebagai berikut :
a. Sebaiknya
ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
b.
Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel
(laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
c.
Pada penelitian multivariate (termasuk analisis
regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali)
dari jumlah variable yang akan dianalisis.
d.
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan
pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Butir Pertanyaan dan Pembahasan:
1. Mengapa individu juga termasuk
dalam populasi?
=karena individu tersebut memiliki berbagai
karakteristik, misalnya gaya bicara, kedisiplinan, hobi, cara bergaul, dan lain
sebagainya.
2. Apa alasan penamaan snowball
sampling?
= ditinjau dari definisinya, snawball sampling
bergerak dari kecil ke besar layaknya bola salju
3. Apa perbedaan mendasar dari
probability dan nonprobability?
= yang membedakan keduanya adalah dari segi
pengambilan data
4. Teknik sampling apa yang
menginginkan sedikit data?
= sampling jenuh
5. Apakah probabilitas dan
nonprobabilitas dapat digunakan dalam penelitian yang secara bersamaan?
= tidak karena prinsip dari keduanya berbeda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar